Home » , , » Kontruksi Akad Asuransi Syariah

Kontruksi Akad Asuransi Syariah

Written By Unknown on Kamis, 25 April 2013 | 21.52







TINJAUAN KRITIS TERHADAP KONTRUKSI AKAD ASURANSI SYARIAH (TAKAFUL)  DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL




A.    PENDAHULUAN
            Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang pertanggungan yang merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia barat yang lahir bersamaan dengan adanya semangat pencerahan. Institusi asuransi syariah dan lembaga keuangan syariah, merupakan kunci utama pengerak ekonomi pada era modern dan masa sekarang. Dasar yang menjadi operasional asuransi modern adalah berorientasi pada sistem kapitalis yang intinya hanya bermain dalam pengumpulan modal untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan kurang atau tidak mempunyai akar untuk pengembangan ekonomi secara konferhensif.[1]
            Fungsi asuransi saat ini tidak di batasi sebagai instrumen untuk melindungi harta (sektor usaha) dan keluarga (jiwa), melainkan juga sebagai investasi. Selain itu jika kita perhatikan bahwa asuransi konvensional menginvestasikan dana yang didapatkan tanpa mempertimbangkan halal/haramnya, sehingga uang hasil investasi yang diterima oleh nasabah tidak terjaga kehalalannya. Ketidak halalan tersebur mengakibatkan adanya unsur-unsur maysir (perjudian, untung untungan), gharar (ketidak pasti, dan ketidak jelasan)  dan riba (bunga) baik pada akad maupun operasionalnya.
            Lainhalnya pada asuransi syariah, dalam dunia islam lebih banyak bernuansa sosial dari pada nuansa ekonomi atau profit oriented (keuntungan bisnis). Hal ini dikarnakan aspek tolong menolong yang menjadi dasar utama dalam penegakan praktek asuransi dalam islam. Maka, takala asuransi tersebut dikemas dalam suatu  organisasi perusahaan yang berorientasi pada profit yang mengakibatkan adanya pengabungan dua visi yang berbeda, yaitu visi sosial yang menjadi landasan utama dan visi ekonomi menjadikan sebagai landasan perifarel.[2]
            Penerimaan praktek asuransi dikalangkan ulama dapat melalui institusi ijtima’ jama’i (kesepakatan bersama), seperti lembaga fatwa yang berada pada mejlis ulama Indonesia (MUI), MUI melalui Dewan Pengawas Syriah (DSN) telah mengeluarkan fatwa tentang pedoman Asuransi Syariah di Indonesia. Tujuan adanya fatwa sebagai pedoman awal operasional Asuransi Syariah di Indonesia.[3]
            Lahirnya asuransi dilatar belakangi oleh keraguan umat islam terhadap produk asuransi konvensional yang mengandung unsu-unsur maysir, gharar, dan riba yang bertentagan dengan syariah agama islam. Menggigat Asuransi Syariah yang belem memiliki payung hukum yang kuat sebagai dasar melakukan kegiatan operasionalnya, oleh karena itu selain mungunakan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Asuransi Syariah masih mengunakan UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Peransuransian, meskipun undang undang tersebut belum bisa mengkonver seluruh kegiatan Asuransi Syariah. Asuransi Syariah menghilakan unsur maysir, gharar, dan riba dengan cara menerapkan beberapa akad dan prinsip yang dibenarkan oleh Syar’i. Akad yang digunakan dalam Asuransi Syariah akad Tijarah dan Tabbaru’. Asuransi Syariah juga Menerapkan konsep Ta’awun. Untuk membantu peserta dalam mengalami musibah  mekanisme tabbaru’. Asuransi Syariah memiliki karakteristik yang berbeda dengan Asuransi Konvensional yang membedakannya adalah adanya Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi sebagai pengawasan prinsip operasional Asuransi Syariah.
            Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, telah ditetapkan bahwa akad yang dilakukan peserta dengan perusahaan terdiri dari akad tijarah atau akad tabbaru’  dalam akad tijarah perusahaan bertindak sebagai Mudharib (pengelola dana). Sedangakan peserta sebagai Shahibul maal (pemegang polis), dan dalam akad tabbaru’ peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang mendapat musibah, sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (Mudharabah), dan dari pengelolaan dana dari akad tabbaru’ (Hibah) perusahaan Asuransi Syariah memperoleh Ujrah (fee).[4]
             Isi Fatwa tersebut menurut penulis perlu di review yang menyangkut besarnya Ujarah atau fee yang tidak disebutkan secara jelas angkanya. Dalam ketentuan khusus pada fatwa di atas hanya disebutkan bahwa Asuransi Syariah berhak memperoleh Ujarah atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya tidak dicantumkan dalam fatwa tersebut.
            Untuk memeperkuat hal ini, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan Fatwa tentang taberru’  pada Asuransi Syariah. Berdasarkan akad tersebut dicantumkan dibagian empat, bahwa,
1.      Dalam akad tabarru’ peserta diberikan dana hibah digunakan untuk menolong peserta atau peserta lainnya yang tertimpa musibah.
2.      Peserta secara individu memberikan pihak yang berhak menerima dana tabarru’dan secara kolektif selaku penangung.
3.      Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari para peserta selain pengelola dana investasi.

            Namun, seperti ketentuan yang tercantum pada bagian 4 (empat) dari Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut menjadi kontraproduktif apabila ditelusuri bagian selanjutnya, yaitu pada bagian 5 (lima) yang mengatur tentang Investasi. Di poin 2 bagian 5 dijelaskan sebagai berikut:
“Dalam pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru’ maupun saving, dapat digunakan akad wakalah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti diatas, akad mudharabah dengan mengikuti fatwa mudharabah, atau pada akad mudharabah musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah musytarakah .[5]

Isi penjelasan bagian 5 tersebut jika kita perhatikan dengan 4 ada yang tidak sinkron menyangkut hak operator takaful atas dana investasi peserta. Di bagian 4 terdapat pembatas ruang gerak operator takaful dengan melarangnya untuk mengambil dana investasi plus hasil investasi milik peserta, sementara pada bagian 5, ruang kebebesan hak operator yang telah disebutkan penulis di bagian ke empat tadi, dimana menjadi terbuka kembali dengan adanya peluang untuk mengaplikasikan akad akad lain selain wakalah. Sebagai gambaran umum, akad meudharabah merupakan akad yang bersifat bisnis yang memungkin kan pihak operator untuk mendapatkan bagian atau proporsi tertentu, baik dari hasil investasimaupun dari suplus underwriting dengan menetapkan nisbah tertentu yang disepakati. Misal 60:40. Sehingga dalam hal ini terdapat kemungkinan bgi operator untuk mendapatkan 2 sekaligus, yaitu akad wakalah bi ujrah + mudharabah atau  wakalah bil ujrah + mudharabah Mustarakah. Berdasarkan latar belakang singakat diatas, maka penulis akan mengulas hukum islam terhadap multi akad.

B.     ANALISIS
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad ba’i dan salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi. Akan tetapi, jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf diperbolehkan. Begitu juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus haram hukumnya, tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh. Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi.
Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum akad-akad yang membangun tidak secara otomotis menjadi hukum dari multi akad.
Mesti ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh dan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Ketentuan itu memberi peluang pada pembuatan model transaksi yang mengandung multi akad. Ketentuan ini berlaku umum, sedangkan beberapa hadis Nabi dan nash-nash lain yang mengharamkan multi akad adalah ketentuan pengecualian. Hukum pengecualian ini tidak bisa diterapkan dalam segala praktik muamalah yang mengandung multi akad.
Kebolehan multi akad yang didasarkan atas prinsip hukum asal dari akad adalah boleh dan hukum multi akad diqiyaskan dengan hukum akad-akad yang membangunnya, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan agama yang membatasinya. Artinya, meskipun multi akad diperbolehkan, ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, karena batasan itu menjadi rambu bagi multi akad agar tidak terjerumus kepada praktik muamalah yang diharamkan. Batasan-batasan sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya adalah garis batas bagi praktik multi akad yang tidak boleh dilewati.  



[1] Hasan ali, Asuransi dalam persfektif hukum islam, Jakarta: kencana, 2004,  hal 55
[2] Ibid
[3] Agustianto, Syariah Economi Stady,Makalah disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya Mencari Format idial Kompolasi Hukum Ekonomi Syariah¸dieselengarakan oleh Kompulasi ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20 November 2006
[4] Fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
[5] Fatwa DSN-MUI No.52/DSN-MUI/X/2006  tentang akad Wakalah Bil Ujrah  pada Asuransi Syariah

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Rahmad Kadry - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger