TINJAUAN KRITIS TERHADAP KONTRUKSI AKAD ASURANSI SYARIAH (TAKAFUL) DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
A.
PENDAHULUAN
Asuransi sebagai
salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang pertanggungan yang
merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia barat yang lahir
bersamaan dengan adanya semangat pencerahan. Institusi asuransi syariah dan
lembaga keuangan syariah, merupakan kunci utama pengerak ekonomi pada era
modern dan masa sekarang. Dasar yang menjadi operasional asuransi modern adalah
berorientasi pada sistem kapitalis yang intinya hanya bermain dalam pengumpulan
modal untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu dan kurang atau tidak
mempunyai akar untuk pengembangan ekonomi secara konferhensif.[1]
Fungsi asuransi
saat ini tidak di batasi sebagai instrumen untuk melindungi harta (sektor
usaha) dan keluarga (jiwa), melainkan juga sebagai investasi. Selain itu jika
kita perhatikan bahwa asuransi konvensional menginvestasikan dana yang
didapatkan tanpa mempertimbangkan halal/haramnya, sehingga uang hasil investasi
yang diterima oleh nasabah tidak terjaga kehalalannya. Ketidak halalan tersebur
mengakibatkan adanya unsur-unsur maysir (perjudian, untung untungan),
gharar (ketidak pasti, dan ketidak jelasan)
dan riba (bunga) baik pada akad maupun operasionalnya.
Lainhalnya pada
asuransi syariah, dalam dunia islam lebih banyak bernuansa sosial dari pada
nuansa ekonomi atau profit oriented (keuntungan bisnis). Hal ini
dikarnakan aspek tolong menolong yang menjadi dasar utama dalam penegakan
praktek asuransi dalam islam. Maka, takala asuransi tersebut dikemas dalam
suatu organisasi perusahaan yang
berorientasi pada profit yang mengakibatkan adanya pengabungan dua visi
yang berbeda, yaitu visi sosial yang menjadi landasan utama dan visi ekonomi
menjadikan sebagai landasan perifarel.[2]
Penerimaan praktek
asuransi dikalangkan ulama dapat melalui institusi ijtima’ jama’i (kesepakatan
bersama), seperti lembaga fatwa yang berada pada mejlis ulama Indonesia (MUI),
MUI melalui Dewan Pengawas Syriah (DSN) telah mengeluarkan fatwa tentang
pedoman Asuransi Syariah di Indonesia. Tujuan adanya fatwa sebagai pedoman awal
operasional Asuransi Syariah di Indonesia.[3]
Lahirnya asuransi
dilatar belakangi oleh keraguan umat islam terhadap produk asuransi konvensional
yang mengandung unsu-unsur maysir, gharar, dan riba yang
bertentagan dengan syariah agama islam. Menggigat Asuransi Syariah yang belem
memiliki payung hukum yang kuat sebagai dasar melakukan kegiatan
operasionalnya, oleh karena itu selain mungunakan Fatwa Dewan Syariah Nasional,
Asuransi Syariah masih mengunakan UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Peransuransian, meskipun undang undang tersebut belum bisa mengkonver seluruh
kegiatan Asuransi Syariah. Asuransi Syariah menghilakan unsur maysir, gharar,
dan riba dengan cara menerapkan beberapa akad dan prinsip yang
dibenarkan oleh Syar’i. Akad yang digunakan dalam Asuransi Syariah akad Tijarah
dan Tabbaru’. Asuransi Syariah juga Menerapkan konsep Ta’awun.
Untuk membantu peserta dalam mengalami musibah
mekanisme tabbaru’. Asuransi Syariah memiliki karakteristik yang
berbeda dengan Asuransi Konvensional yang membedakannya adalah adanya Dewan
Pengawas Syariah yang berfungsi sebagai pengawasan prinsip operasional Asuransi
Syariah.
Berdasarkan Fatwa
DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, telah
ditetapkan bahwa akad yang dilakukan peserta dengan perusahaan terdiri dari
akad tijarah atau akad tabbaru’
dalam akad tijarah perusahaan bertindak sebagai Mudharib
(pengelola dana). Sedangakan peserta sebagai Shahibul maal (pemegang
polis), dan dalam akad tabbaru’ peserta memberikan hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta lain yang mendapat musibah, sedangkan
perusahaan bertindak sebagai pengelola dana. Perusahaan Asuransi Syariah
memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah
(Mudharabah), dan dari pengelolaan dana dari akad tabbaru’ (Hibah)
perusahaan Asuransi Syariah memperoleh Ujrah (fee).[4]
Isi Fatwa tersebut menurut penulis perlu di review
yang menyangkut besarnya Ujarah atau fee yang tidak disebutkan
secara jelas angkanya. Dalam ketentuan khusus pada fatwa di atas hanya
disebutkan bahwa Asuransi Syariah berhak memperoleh Ujarah atas pengelolaan
dana tabarru’ yang besarnya tidak dicantumkan dalam fatwa tersebut.
Untuk memeperkuat
hal ini, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan Fatwa tentang taberru’ pada Asuransi Syariah. Berdasarkan akad
tersebut dicantumkan dibagian empat, bahwa,
1.
Dalam
akad tabarru’ peserta diberikan dana hibah digunakan untuk menolong
peserta atau peserta lainnya yang tertimpa musibah.
2.
Peserta
secara individu memberikan pihak yang berhak menerima dana tabarru’dan
secara kolektif selaku penangung.
3.
Perusahaan
asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah
dari para peserta selain pengelola dana investasi.
Namun, seperti ketentuan yang
tercantum pada bagian 4 (empat) dari Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut
menjadi kontraproduktif apabila ditelusuri bagian selanjutnya, yaitu pada
bagian 5 (lima) yang mengatur tentang Investasi. Di poin 2 bagian 5 dijelaskan
sebagai berikut:
“Dalam
pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru’ maupun saving,
dapat digunakan akad wakalah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan
seperti diatas, akad mudharabah dengan mengikuti fatwa mudharabah, atau
pada akad mudharabah musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa mudharabah
musytarakah .[5]
Isi
penjelasan bagian 5 tersebut jika kita perhatikan dengan 4 ada yang tidak
sinkron menyangkut hak operator takaful atas dana investasi peserta. Di
bagian 4 terdapat pembatas ruang gerak operator takaful dengan
melarangnya untuk mengambil dana investasi plus hasil investasi milik peserta,
sementara pada bagian 5, ruang kebebesan hak operator yang telah disebutkan
penulis di bagian ke empat tadi, dimana menjadi terbuka kembali dengan adanya
peluang untuk mengaplikasikan akad akad lain selain wakalah. Sebagai
gambaran umum, akad meudharabah merupakan akad yang bersifat bisnis yang
memungkin kan pihak operator untuk mendapatkan bagian atau proporsi tertentu,
baik dari hasil investasimaupun dari suplus underwriting dengan
menetapkan nisbah tertentu yang disepakati. Misal 60:40. Sehingga dalam hal ini
terdapat kemungkinan bgi operator untuk mendapatkan 2 sekaligus, yaitu akad wakalah
bi ujrah + mudharabah atau wakalah bil ujrah + mudharabah
Mustarakah. Berdasarkan latar belakang singakat diatas, maka penulis akan
mengulas hukum islam terhadap multi akad.
B.
ANALISIS
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari
akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad ba’i dan salaf yang secara
jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi. Akan tetapi, jika kedua akad itu
berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf diperbolehkan. Begitu
juga dengan menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus haram hukumnya,
tetapi jika dinikahi satu-satu (tidak dimadu) hukumnya boleh. Artinya, hukum
multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya.
Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri sendiri,
namun menjadi haram ketika akad-akad itu terhimpun dalam satu transaksi.
Dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama
dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya. Dengan kata lain, hukum
akad-akad yang membangun tidak secara otomotis menjadi hukum dari multi akad.
Mesti ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad
ini adalah boleh dan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muamalat yang
menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya
adalah boleh. Ketentuan itu memberi peluang pada pembuatan model transaksi yang
mengandung multi akad. Ketentuan ini berlaku umum, sedangkan beberapa hadis
Nabi dan nash-nash lain yang mengharamkan multi akad adalah ketentuan
pengecualian. Hukum pengecualian ini tidak bisa diterapkan dalam segala praktik
muamalah yang mengandung multi akad.
Kebolehan multi akad yang didasarkan atas prinsip hukum asal dari
akad adalah boleh dan hukum multi akad diqiyaskan dengan hukum akad-akad yang
membangunnya, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan agama yang membatasinya.
Artinya, meskipun multi akad diperbolehkan, ada batasan-batasan yang tidak
boleh dilanggar, karena batasan itu menjadi rambu bagi multi akad agar tidak
terjerumus kepada praktik muamalah yang diharamkan. Batasan-batasan sebagaimana
dijelaskan pada bagian sebelumnya adalah garis batas bagi praktik multi akad
yang tidak boleh dilewati.
[1] Hasan
ali, Asuransi dalam persfektif hukum islam, Jakarta: kencana, 2004, hal 55
[2] Ibid
[3] Agustianto,
Syariah Economi Stady,Makalah disampaikan dalam acara Seminar dan
Lokakarya Mencari Format idial Kompolasi Hukum Ekonomi Syariah¸dieselengarakan
oleh Kompulasi ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20 November 2006
[4] Fatwa
DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Posting Komentar